Memanusiakan Manusia ?


Memanusiakan Manusia,  juga sebuah kekeliruan.

Ada sebuah kalimat yang sering saya temui di dalam berbagai literature, khususnya yang membahas seluk beluk pendidikan. Kalimat itu adalah …”pendidikan itu adalah memanusiakan manusia ”.

Bagi saya kalimat itu sangat menarik untuk dicermati atau di analisis. Kalimatnya sederhana, maklum saja kalimat  ini didesain oleh pakar pendidikan Indonesia. Setiap orang yang mendengarkannya seakan akan kalimat itu sangat dimengerti. Bayangkan jika ada seorang dosen apalagi seorang Guru Besar sekaliber Prayitno   mengatakan kalimat ini kepada mahasiswa hampir tidak seorangpun mahasiswa itu yang akan bertanya soal makna kalimat tersebut. Banyak orang  seakan dihipnotis setelah mendengarkannya.

Akan tetapi bagi saya, jika ada seseorang yang mengatakan kalimat  seperti itu,   spontan saja seketika mengeluarkan respon;  “ Secara Ilmiah, apa yang bisa saya tangkap dengan kalimat yang seperti itu ? ” Bagaimana caranya kita memahami sebuah proposisi dengan kalimat tersebut ? Atau memang ada pola kalimat bahasa Indonesia baku yang seperti itu yang belum saya ketahui ? Tapi….Saya tidak habis pikir, siapa yang keliru. Paling tidak ada juga kaitannya dengan hal-hal seperti berikut; Mana bahasa ilmiah dan mana bahasa sastera tidak jelas bedanya. Mana kalimat efektif dan mana kalimat verbalis….? Serta mana pengetahuan ilmiah dan mana pula pengetahuan populer, tidak pula pas pemakaiannya. Apalagi kalimat yang seperti itu tidak pernah bertemu bagi saya polanya dalam tata bahasa Indonesia yang baku. Akibatnya proposisi apa yang cocok untuk itu, ya terserah sama orang yang menerimanya secara imperatif. Yang  sangat jelas sekali pada pernyataan itu terkandung suatu makna yakni sebuah degradasi martabat manusia.

Apa yang di ucapkan atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan yang  ada. Memang seorang ilmuan yang jujur selalu bicara dengan akurasi dan valid.   Agar siapa yang membacanya   ketemu pemikiran yang jujur.  Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya ” sesuai kenyataan” . Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Dalam hal ini terutama tercermin dalam proses menyampaikannya kepada orang lain dengan bahasa yang efektif agar komunikatif.

Sebenarnya, masyarakat ilmiah (orang-orang yang berpikir secara ilmiah) tidak harus muncul dari lingkungan kampus (perguruan tinggi), meskipun tidak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi di lingkungan Kampus. Akan tetapi, rupanya  perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia  Kampus ada tindakan-tindakan yang  menyalahi aturan ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus serta penyelesaian sebuah proyek bangunan. Termasuk juga persoalan pengetahuan populer.

  1. Buku memanusiakan manusia

Ada apa pada  ” pendidikan itu adalah memanusiakan manusia ”…??

Kata “pendidikan” merupakan sebuah kata yang menunjukan kepada proses merubah perilaku seseorang atau sekelompok orang. Pendidikan sebagai proses tentu ada serangkaian kegiatan yang terjadi secara sistematis. Jelas keadaan awal dan jelas pula keadaan akhirnya. Di dalam pola berfikir yang sederhana dan baku proses “merubah”  adalah suatu barang dirubah menjadi bentuk lain, atau suatu keadaan kepada   keadaan yang lain, dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain sesuai dengan rencana atau keinginan orang yang melakukan perubahan. Dalam proses pendidikan  perilaku yang dirubah itu adalah perilaku yang keadaannya tidak terpuji menjadi perilaku yang terpuji. Begitulah logikanya yang sederhana tapi jelas objeknya.

Sementara  kalau  kata-kata memanusiakan manusia, mungkin saja menjadi kata yang ambigu. Akibatnya kata tersebut tidak komunikatif.

Manusia pada kata pertama ( me-manusia-kan) bermakna sama dengan   manusia pada kata yang kedua. Senyatanya dalam keseharian kita temukan perilaku manusia itu bermacam-macam.  Perilaku manusia  itu ada yang dianggap baik dan ada yang dianggap buruk.. Itupun tergantung juga dengan usianya, tempat atau masyarakatnya, agama dan adat kebiasaannya. Namun demikian baik atau jelek perilakunya tetap saja dinyatakan sebagai manusia.

Berdasarkan logika sehat manusia semenjak dia lahir (bayi) kalau dia hidup sudah 100% dia adalah manusia. Walau beratnya masih 3 kg misalnya tetap dia sudah berada sebagai manusia. Orang yang beratnya 10 atau 20 kg juga namanya tetap manusia, dan seterusnya.  Jika seorang anak berusia 5 tahun   eksistensinya  sebagai manusia sudah diakui, tidak ada bedanya dengan setelah dia mencapai usia 10 tahun dan seterusnya. Masih kecil atau sudah besar, masih muda atau sudah tua eksistensinya adalah sama, yakni  “ manusia “.

Jika “manusia” kita proses (dididik) hasilnya juga “manusia”….. itu artinya usaha sia-sia, karena berjalan ditempat. Dengan kata lain tidak ada perubahan. Bagaimana mungkin sebuah usaha yang mengolah manusia menjadi manusia.  (Artinya proses  belum  berjalan).

Bagi seorang pendidik yang berpikir rasional atau logis, akan mudah menerima sebuah pernyataan bahwa jika kita mendidik seorang anak atau banyak anak objeknya adalah “perilaku” dari anak itu (manusia). Guru yang mendidik tidak akan meng-obrak-abrik jasad atau raganya, guru tidak akan melakukan perubahan pada bentuk dan susunan fisiknya. Akan tetapi pendidik berupaya menumbuhkan kesadaran anak agar dia mau/ selalu berperilaku baik di lingkungannya. Dengan kalimat yang  sederhana dapat juga dikatakan bahwa pendidikan itu adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku sesuai dengan nilai dan norma. Boleh juga dikatan bahwa pendidikan adalah proses  menyadarkan anak agar mampu dan mau mengatur perilakunya secara baik.

Guru yang normal cara berpikirnya akan sadar bahwa tugasnya hanya sebatas “perilaku”. Dia tidak akan merubah susunan atau tata letak jiwa anak di dalam tubuhnya. Karena memang jiwa dan raga itu tidak mungkin dirubah bentuk atau tata letaknya. Sang guru tetap sadar bawa manusia itu terdiri dari  Jiwa dan raga atau jasmani. Kesatuan jiwa dan raga memiliki kemampuan untuk  bertingkah laku dan  mampu membuat  sesuatu.

Manusia  yang masih bayi sudah mengandung potensi-potensi yang dibawanya semenjak dia lahir ke dunia ini. Potensi itu akan berkembang dan dapat dikembangkan. Dapat berkembang dan dikembangkan untuk melakukan sesuatu   semaksimal mungkin.  Misalnya seorang balita dapat dilatih berjalan dan berlari. Dapat dilatih mengucapkan aksara dan angka hingga pandai berbicara. Yang lebih penting dari itu adalah dapat dilatih mampu membuat sesuatu.  Kemampuan-kemampuan seperti itulah yang disebut perilaku. Di dalam filsafat (sistem logika)  biasanya bagian tidak sama dengan keseluruhan. Atau sebaliknya. Demikian pula jika kita berbicara tentang dapur jangan digunakan kata rumah dalam proses menjelaskannya  agar komunikatif,  mudah dan cepat dipahami.

Di dalam kehidupan kita keseharian, ada perilaku anak yang “tidak diinginkan”  dan ada yang diinginkan. Maka terhadap perilaku anak yang tidak diingini itu orang dewasa (yang telah tahu dengan mana yang baik dan mana yang buruk) berupaya membantu mengarahkan perilaku tersebut kepada yang diinginkan ( sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungan). Proses mengarahkan (merubah) perilaku tersebut dengan berbagai macam cara dan metoda  itulah yang disebut pendidikan. Artinya objeknya terbatas, bukan persoalan “manusianya” secara keseluruhan, akan tetapi adalah “bagian” dari persoalan manusia itu yakni persoalan perilakunya.

Kalau memanusiakan  manusia  dalam konsep berpikir berarti belum berbuat apa-apa. Karena sama saja dengan kata-kata seorang sanak kecil……” membatukan batu ” apakah artinya. Yang namanya mendidik bagaikan beras yang dimasak akan berubah menjadi nasi. Artinya yang namanya perubahan sangat jelas berbeda kondisi semula jika dibandingkan dengan kondisi setelah diproses. Biasanya dalam teori belajar dan mengajar anak yang akan dididik disebut sebagai masukan mentah. Sedangkan keluaranya atau hasil itulah yang disebut sebagai barang jadi  atau ( out put ). Masukan mentah akan berubah setelah dia mengalami suatu proses menjadi barang jadi. Bukan hanya kondisinya saja yang berubah namanya juga ikut berubah. Makanya kalau kita mendidik orang yang kondisi awalnya sedang bodoh  akan berubah menjadi orang  kondisi akhirnya menjadi pintar . Di dalam Islam kita kenal perilaku jahil (sebagai masukan mentah) dan berakhlak mulia sebagai barang jadinya (out put). Sangat jelas perbedaanya istilah sebelum anak dididik dengan sesudah melewati proses pendidikan.

Itulah salah satu persoalan karakter orang yang malas berfikir.

Tentang Jalius. HR
[slideshow id=3386706919809935387&w=160&h=150] Rumahku dan anakku [slideshow id=3098476543665295876&w=400&h=350]

13 Responses to Memanusiakan Manusia ?

  1. fitri says:

    Maaf, Pak Jalius, saya bukanlah mahasiswi UNP jurusan pendidikan, karena saya kuliah di UPI YPTK jurusan Manajemen Komputer, sekarang lebih diknal dengan Sistem Informasi. saya bukanlah pakar pendidikan jadi saya tidak mengerti hal tersebut. Saya kaget membaca tentang “memanusiakan manusia” sebuah kekeliruan.
    saya mengenal Bpk Prayit waktu seminar2 di kampus2 jadi saya tidak bisa terima pernyataan itu, maaf karena saya sama sekali tidak mengerti tentang hal itu, saya bukan mahasiswa jurusan pendidikan.
    Terimakasih

  2. Jalius HR says:

    Terima kasih sdri Fitri telah mengunjungi Blog Explaining ini.
    Ketika Fitri tidak ” bisa menerima ” pernyataan Saya diatas tidak apa-apa. Penjelasan ini hanya untuk orang-orang yang mau mengerti dengan persoalan pendidikan. Salah satu di antara aspeknya adalah berfikir yang sistematis (logis). Pikiran logis dapat di ketahui dari apa yang diucapkan atau dari apa yang dituliskan, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini saya mencoba menganalisis dari sisi penggunaan bahasa dari apa yang dipikirkan oleh para ahli tersebut.

    Biasanya dalam teori pendidikan anak yang akan dididik disebut sebagai masukan mentah. Sedangkan keluaranya atau hasil itulah yang disebut sebagai barang jadi atau (out put). Masukan mentah akan berubah setelah dia mengalami suatu proses, yakni menjadi barang jadi atau sebagai hasil. Jika masukan mentah diproses akan berubah menjadi keluaran atau hasil, harus ditujukan oleh perubahan namanya. Makanya kalau kita mendidik orang yang kondisinya awalnya seorang yang bodoh akan berubah menjadi seorang kondisinya menjadi pintar . Di dalam Islam kita kenal perilaku jahil (sebagai masukan mentah) dan berakhlak mulia sebagai hasilnya (out put). Sangat jelas bedanya istilah yang digunakan sebelum proses dan istilah sesudah proses pendidikan.

    Bagi saya semua harus jelas…. jangan hanya retorika belaka, yang menyebabkan orang hanya berpengetahuan semu.

    Jika Fitri tidak bisa menerima….. biar saya doakan semoga Allah memberi Fitri hidayah….
    Wassalam Jalius. HR
    .

  3. yasrizal says:

    Mungkin ada orang yang melihat masih ada manusia yang belum jadi manusia, ah sulit juga mengambil pengertiannya. Kalau belum jadi manusia mungkin masih segumpal darah pak atau segumpal daging . Kalimat memanusiakan manusia hampir sama dengan sebuah tulisan di Surat Kabar terbitan Padang kalau tak salah sekitar tahun 2002 yaitu” Perlu di Buat Undang-undang Untuk Mengatur Undang-Undang.” Mari kita renungkan kalimat itu.

  4. Jalius HR says:

    Explaining.
    Tulisan diatas memuat kalimat ” Bayangkan jika ada seorang dosen apalagi seorang Guru Besar sekaliber Prayitno mengatakan….” telah mendapatkan kritikan dari beberapa teman sejawat dan para pembaca.
    Dari pihak penulis menjelaskan, kalimat tersebut bukan berarti bahwa yang menyatakan …” bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan manusia ”… adalah Prayitno.
    ” sekaliber prayitno ” berati memiliki kecakapan atau kemampuan setara dengan prayitno ( karena Prayitno adalah termasuk tokoh pendidikan pada tingkat nasional). Tambahan lagi, pada awal tulisan di atas terlulis: ” Ada sebuah kalimat yang sering saya temui di dalam berbagai literature,”……sangat jelas bukan dikutip dari pendapat prayitno.

    Sekian selamat membaca.

    • Fajar says:

      ha ha ha sekarang saya paham mengapa bapak tidak setuju dengan istilah memanusiakan manusia
      dari tata bahasa dan kajian ilmiah toh he he he
      tapi kalo dari sisi filsafat yang bertujuan untuk mencari kebijaksanaan yah bapak harus setuju karena yang ada saat ini wajah pendidikan di indonesia tuh banyak lah seragamnya sama rata, mematok ukuran sama untuk potensi anak didik yang berbeda beda
      dari pada bapak tidak setuju dengan istilah “M M” itu lebih baik bantu kami para guru SD untuk menerapkan metode yang mendidik anak sejak usia dini agar kelak ketika mereka dewasa tidak mudah terpengaruh oleh Film Bokep yang mereka dapatkan di HP dan Internet
      saya mohon sekali hasil pemikiran nya
      karena dari 10 orang hanya bapak sendiri yang tidak setuju dengan metode “M M” itu dan pemikiran dari seorang yang tidak setuju dengan suatu hal pasti menghasilkan pemikiran baru yang luar biasa
      saya tunggu yah pak
      nch FB dan Email saya
      Fajar haryady
      fr85_haryady@yahoo.co.id

      • Jalius HR says:

        Terima kasih Fajar, anda telah berkunjung ke Blog Explaining ini. Semoga mendapat hikmah darinya.
        Kemudian Fajar mengatakan ; …”dari pada bapak tidak setuju dengan istilah “M M” itu lebih baik bantu kami para guru SD untuk menerapkan metode yang mendidik anak sejak usia dini,..”
        Permintaannya amat bagus. Berkebetulan Bpk mengajar di Jurusan PLS FIP UNP. Salah satu mata kuliah yang Bapak ampu adalah Pengantar Pendidikan. Bapak akan menjelaskan kepada mahasiswa materi yang berbeda dari pemikiran yang sedang berkembang di dunia pendidikan. Seperti yang Fajar kataan di Indonesia diterapkan keseragaman…. ya wajar saja. Pakar pendidikan di Indonesia kebanyakan ilmunya juga seragam. Kebanayak landasan teorinya tidak pas jika di terapkan di lapangan.
        Sebagai Contoh, Pakar pendidikan di Indonesia tidak mampu merumuskan 2 konsep utama, yakni konsep tentang ” pendidikan ” dan “Pengajaran” secara pas. Akibatnya… ya… sama saja bagi mereka ayam dengan itik. Pemikiran seperti itu tidak fokus, akibatnya logika jadi kacau. Dampaknya juga…. anak didik jadi galau, sarjana apa lagi. Pendidikan di negara kita setiap orang maunya berjalan dengan pemikirannya sendiri-sendiri (termasuk para pejabat).

        Jika ingin tahu lebih lanjut sebaiknya lansung berdialog dengan Bapak.

        Wassalam.

    • pak maaf sebelumnya..saya dafrianda mahasiswa dari unida aceh, bukannya saya bertentangan dengan pernyataan bapak, tapi alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulum manusia yang sebenarnya menurut pandangan islam. Allah telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna dan kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia tidak dimiliki oleh mahluk lainya, perbedaan utama antara manusia dengan mahluk lainya adalah akal pikiran. nah yang menjadi pertanyaan kita saat ini adalah..apakah semua manusia di muka bumi ini telah menggunakan akalnya dalam meraih kehidupan dunia dan akhirat sebagai mana yang diajarkan oleh rasulullah dan yang diperintahkan oleh Allah. apabila jawabannya belum…maka inilah fungsi dari orang2 yang telah menggunakan akalnya.. dan fungsi mereka adalah menyempurnakan orang2 yang belum sempurna dalam menggunakan akalnya.
      apabila manusia tidak menggunakan akal…maka tidak ada perbadaan antara manusia demangan mahluk lain.. karna letak perbedaan utamanya adalah akal.
      wassalam.

      • Jalius. HR says:

        Terima kasih atas kunjungannya ke Blog Bapak…. Pertanyaannya bagus dan perlu Bapak jawab.

        Jangan salah paham tentang ” Allah telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna ” Allah hanya menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan ” sebaik-baik bentuk “…Dalam hal ini sangat ditekankan pada jasadnya,….Sedangkan soal ” kesempurnaan ” itu harus dengan jalam melaksanakan pendidikan. Dalam pendidikan dilakukan pembinaan akal sebaik-baiknya,,,,dst. Demikian secara ringkas…semoga bermanfaat Wasaalam Jalius

  5. nola says:

    dear pak julian
    saya mahasiswa jurusan pendidikan, dalam pelajaran pengantar pendidikan ada soal mengenai ” apa arti pendidikan memanusiakan anak manusia ? ”
    kalau boleh saya minta penjelasan nya pak,
    karna saya sendiri kurang mengerti arti nya.
    mohon bantuan nya pak julian..

    terimakasih..

    • Jalius. HR says:

      Bacalah Tulisan Bapak di atas secara saksama…
      Di dalam tulisan tersebut Bpk. menjelas bahwa “memanusiakan manusia” di dalam konteks ilmiah atau logika adalah merupakan bentuk pemikiran yang keliru
      Anak manusia yang masih kecil sudah 100% manusia tidak perlu lagi ada upaya “memanusiakan”nya.
      Aneh jika bahan mentah yang diproses ” Manusia ” hasilnya atau out put nya juga manusia. Tapi jika manusia bodoh (belum tahu) diproses (dididik) akan menghasilkan anak pintar (berilmu) atau berperilaku baik.
      Jangan lupa dasar logikanya Input jika sudah melalui proses, …. out put nya akan berbeda dengan in put.
      Pandidikan harus diartikan dalam dua konsep pelaku;
      Pertama mendidik yang dilakukan oleh orang lain, seperti orang tua atau guru kepada anak.
      Kedua pendidikan dilakukan oleh anak sendiri.
      Mendidik berarti memberikan pengetahuan dan kecakapan hidup (ketrampilan) dan membentuk perilaku yang baik.
      Jika dilakukan oleh anak sendiri disebut sebagai “auto didact” artinya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dan berupaya mengatur perilaku sendiri.

      Demikian untuk sementara, Salam kenal dari Jalius.

  6. Assalamualaikum pak.. menanggapi tulisan bapak diatasi, dapat saya simpulkan bahwa “manusia” yg didefinisikan oleh bapak dengan pendekatan filsafat logika ialah manusia secara “fisik” sedangkan salah kutipan “M M” menggunakan pendekatan secara fungsional dari pada manusia itu sendiri, bapak menyebutkan bahwa pendidikan adalah “merubah perilaku” nah esensi dari smanusia itu terletak pada? “Sikap/akhlak/perilaku” jika manusia dikatakan manusia dilihat dari fisik sebagaimana tercantum dalam tulisan bapak makan Masi ada manusia yang tidak lengkap fisiknya tapi tetap dikatakan manusia, jika bapak mengatakan pendidikan disebut pendidikan juga input dan outputnya berbeda? Nah input dan output yg dimaksud adalah perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik olehnya itu “memanusiakan manusia” dirasa tepat dalam mendefinisikan pendidikan dikarenakan dalam kutipan tersebut terdapat proses pembentukan fungsi dari manusia itu sendiri,,,

    salam dari saya pak mahasiswa rekam medis STIKES Panakkukang Makassar,, terimakasih atas ilmunya pak

    • Jalius. HR says:

      Terima kasih Himawan sofyan yang telah berkunjuk ke Blog Explaining ini.
      Di samping itu juga Himawan sofyan telah berkenan memberikan tanggapan secukupmya. Setelah Bapak baca komentarnya…..Terkesan oleh Bapak Himawan sofyan kurang cermat mebaca tulisan tersebut. Sebab kesimpulan dan kutipan kurang pas.
      Bapak mengharapkan kalau bisa…Himawan sofyan ulangi kembali membaca untuk memahami apa yang Bapak sampaikan di dalam artikel itu. Demikian saja untuk sementara nanti kita lanjutkan dialognya….
      Semoga bermanfaat.

      Wassalam…

  7. sayyid says:

    Assalamualaikum wr.wb,

    pak Jalius HR.

    saya juga tidak setuju kata memanusiakan manusia.

    pendapat saya ini adalah rasisme, gimana ngatasi kemanusian orang-orang dari lahir yg tidak memiliki akal sehat? agar jadi manusia.Hitler telah melakukan hal ini dahulu.

    Bukan akal saja yg harus kita pake tapi juga akhlak itulah yg paling unggul.

    wassalamualaikum wr.wb,

    ustadz sayyid habib yahya

Tinggalkan Balasan ke Fajar Batalkan balasan